Senin, 06 April 2009

Tugas Investigasi Mahasiswa Pasca Unpad tentang Traficking

Team: Yudi Pratikno,Moh Iqbal,Alan,Ahmad Mufti

Stigma Daerah Sentra PSK

MENJELANG ujian kelulusan, para siswa lazimnya bersemangat belajar. Namun tidak demikian halnya bagi sejumlah siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukamelang 3, Kec. Kroya, Kab. Indramayu, Jawa Barat. Di saat mereka mestinya belajar lebih keras untuk menghadapi ujian menjelang tamat, beberapa siswa perempuan justru sering tidak masuk. Bahkan, sebulan sebelum ujian dilaksanakan, sejumlah siswi kelas VI itu, justru sama sekali tidak masuk kelas.

Sutrisno, S.Pd. (43), Kepala Sekolah SDN Sukamelang 3, segera mendatangi para wali murid mereka di rumahnya masing-masing. Orang tua mereka pada umumnya bertingkah gugup saat Sutrisno menanyakan ketidakhadiran putri-putri mereka di kelas. Sebagian orang tua beralasan bahwa mereka tidak lagi mampu membiayai anaknya bersekolah. Meski demikian, Sutrisno membantahnya, karena sekolah di SD Negeri Sukamelang tidak memungut bayaran.

Beberapa orang tua tetap bersikukuh bahwa meskipun belajar di SD di Kab. Indramayu gratis, namun menjelang ujian, biasanya banyak pungutan, sehingga orang tua khawatir tak mampu membayarnya. Menjelang pulang, Sutrisno meyakinkan para wali murid bahwa ujian pun sama sekali tidak memungut bayaran. Orang tua mengangguk seraya berjanji akan menyuruh anaknya kembali ke sekolah, hingga anaknya lulus SD.

Setelah mengunjungi para orang tua dari murid-murid perempuannya yang tidak hadir, beberapa muridnya kembali datang ke sekolah, sedangkan lainnya tetap tidak kembali. Sutrisno kali ini segera melakukan penyelidikan atas ketidak-hadiran sejumlah siswi tersebut. Dia bertanya kepada para tetangga orang tua siswi yang tidak hadir tersebut. Meskipun tidak terlalu kaget, Sutrisno mendapatkan keterangan bahwa orang tua siswi yang tidak hadir itu baru saja mendapatkan ”uang muka” Rp 2,5 juta dari seorang calo. Orang tua tersebut akan mendapatkan Rp 6 juta jika anak putrinya benar-benar diberangkatkan ke kota untuk bekerja di suatu tempat hiburan.

Peristiwa seperti itu selalu berulang setiap tahun menjelang ujian akhir di Desa Sukamelang, dan desa-desa yang lain di Kec. Kroya. Bahkan, tidak hanya di Kec. Kroya, tapi juga di Kec. Bongas, Kec. Gabus, dan sebagian lain di Kec. Karangampel, dan sejumlah kecamatan lain di Kab. Indramayu. Itulah sebabnya Sutrisno tidak kaget, meskipun hatinya masygul menghadapi kenyataan tersebut.

Saat anak-anak sekolah memasuki semester akhir, para calo biasanya keluyuran sepanjang desa. Mereka mendatangi para orang tua yang memiliki anak perempuan yang sedang bersekolah di kelas VI. Sebagai tanda jadi, sang calo biasanya menyerahkan uang Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta kepada orang tua. Saat anaknya lulus sekolah dan diajak sang calo, orang tuanya mendapatkan tambahan hingga genap Rp 6 juta rupiah.

Para calo membawa perempuan lulusan SD ini ke suatu tempat di Indramayu dan menyerahkannya kepada perantara yang kemudian mengantarkannya kepada mucikari di beberapa kota, seperti Bandung, Jakarta, Batam, Tanjungbalai Karimun, Pulau Bintan dan sebagainya. Para calo tetap tinggal di Indramayu dan mendapatkan pembayaran sesuai dengan jumlah perempuan yang diserahkan kepada perantara tersebut. Menurut Sutrisno, sejumlah kasus menunjukkan, calo tersebut adalah warga masyarakat, aparat desa, bahkan seorang kuwu (kepala desa) dan guru SD.

**

Sementara itu, Ciptara (42), Kepala SD Negeri Cipaat, Kec. Gabus, Kab. Indramayu mengungkapkan, dirinya sering berupaya memergoki pertemuan antara calo dengan parantara tersebut. Namun operasi mereka biasanya sangat rapi dan licin. Anak-anak yang akan dijadikan pelacur selalu diberangkatkan secara terpisah menggunakan mobil tersendiri, sementara calo dan perantara menggunakan kendaraan yang berbeda menuju ke suatu tempat yang selalu berubah-ubah lokasinya sesuai kesepakatan.

Baik Sutrisno maupun Ciptara dalam tempo setahun atau beberapa tahun kemudian kerap bertemu kembali dengan anak-anak murid mereka. Keduanya selalu mendapati bahwa anak-anak muridnya tersebut tampil modis dengan model pakaian terbaru, rambut dipotong rapi, sebagian rambut dicat, kuku tangannya dipotong dengan gaya kota, dan kelihatannya memiliki uang banyak. Meski demikian, para muridnya tersebut menekuk muka, tidak berani bertemu pandang dengan mantan gurunya, bahkan cenderung menghindar saat berpapasan. Mereka telah menjadi pelacur di kota-kota besar di Indonesia.

Setiap kali mengunjungi pelacuran di Tanjungbalai Karimun, Pulau Batam, dan Pulau Bintan, saya secara sengaja meminta ditunjukkan keberadaan pelacur asal Indramayu, atau setidaknya pelacur yang berasal dari Jawa Barat. Dengan spontan, sejumlah pelacur menunjukkan bahwa mereka memang kebanyakan berasal dari Jawa Barat, khususnya Kab. Indramayu, Kab. Subang atau Kab. Karawang. Dewi (22, nama samaran), pelacur yang biasanya melayani para tamu asal Singapura dan Malaysia di Tanjungbalai Karimun mengaku berasal dari Kec. Gabus Wetan, sementara Tati (samaran) yang menjadi pelacur di KM 15 Pulau Bintan mengaku berasal dari Kab. Subang.

Saya beberapa kali mengunjungi Kramat Tunggak, lokalisasi terbesar di ibu kota, sebelum dibubarkan. Setiap kali kunjungan itu, saya selalu bertemu dengan pelacur asal Indramayu. Kini, setelah Kramat Tunggak dibubarkan, para pelacur kemudian tersebar ke berbagai pusat-pusat hiburan di daerah Jakarta Barat dan Jakarta Utara, seperti di wilayah Daan Mogot, Glodok, Jln. Gajahmada, Jln. Hayamwuruk, Grogol, dan sebagainya.

Sejumlah pelacur yang ditemui di lokalisasi Saritem, Kel. Kebonjeruk, Kec. Andir, Kota Bandung mengaku pernah bekerja di Jakarta dan Batam. Beberapa orang mengaku akan pindah dari Saritem ke Jakarta saat di Bandung mulai menemui kejenuhan. Masnuh (51 tahun), Ketua RW 09 Kel. Kebonjeruk, di mana lokalisasi Saritem berada mengungkapkan, setiap pelacur yang baru datang ke lokalisasi Saritem harus menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan KTP tersebut, diketahui bahwa sekira 80% pelacur di Saritem ber-KTP Indramayu. Jumlah pelacur di Saritem sendiri hingga akhir November 2006 sebanyak 461 orang yang tinggal di RW 09, sementara sebanyak 180 orang tinggal di RW 07.

Lian (19, samaran), pelacur asal Gabus Wetan di Saritem mengaku, dirinya terjun menjadi pelacur karena ingin berbuat baik kepada orang tuanya. Sebagai anak pertama, dirinya berkewajiban membantu orang tuanya yang buruh tani untuk membiayai adik-adiknya sekolah. Sementara Perak (21, samaran), pelacur asal Losarang mengaku uangnya sering habis untuk biaya hidup dirinya sendiri. Meski demikian, ia sering mengirimkan uang hasil jerih payahnya sebagai pelacur kepada ibunya, karena ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Beberapa pelacur asal Indramayu pada umumnya mengaku terjun ke dunia pelacuran sebagai bekerja. Oleh karena itu, mereka pada umumnya tidak suka mabuk-mabukan atau berfoya-foya menghamburkan uang. Mereka terjun ke dunia pelacuran sebagai ekspresi kerja. Perempuan asal Indramayu yang menjadi pelacur, pada umumnya terjun ke dunia prostitusi sebagai ekspresi untuk berbuat baik kepada orang tua (dalam istilah agama Islam disebut birrul walidain).

Sebagian masyarakat Indramayu seakan-akan menjadikan pelacuran sebagai pekerjaan yang lazim dan bukan suatu aib. Bahkan pada bulan-bulan Ramadan, di mana berbagai lokalisasi di seluruh Indonesia ditutup untuk menghormati bulan puasa, para pelacur ini mengambil cuti panjang, pulang ke kampung halaman.

Para pelacur yang terbiasa hidup dengan gaya kota tetap memperlihatkan kemewahan hidup mereka selama pulang kampung, sehingga menimbulkan rasa iri di kalangan gadis-gadis kampung untuk meniru kerja mereka dan mengikuti jejak para pelacur tersebut ”bekerja” di kota-kota besar.

Itulah sebabnya, sebagian masyarakat Indramayu menganggap bahwa pelacuran merupakan sesuatu yang lazim berlaku bagi masyarakat mereka. Meski demikian, para pakar mengatakan bahwa prostitusi merupakan patologi sosial.

Yesmil Anwar dalam bukunya ”Saat Menuai Kejahatan” (2004:14) melihat, pelacuran selain sebagai perbuatan melanggar hukum, penyakit masyarakat juga merupakan masalah sosial. Pengertian ”penyakit masyarakat” adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Pelacuran juga disebut sebagai ”masalah sosial” yakni semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama); dan situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak.

Kartono dalam ”Patologi Sosial” (1999:2) berpendapat, adat-istiadat dan kebudayaan itu mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakatnya. Dengan demikian, tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma adat istiadat, atau terintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai masalah sosial. Biasanya orang yang dapat menilai bahwa sudah terdapat gejala patologi tersebut adalah pejabat, politikus, ahli hukum, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan kaum ilmuwan di bidang sosial.

Sekalipun kadangkala mereka membuat kekeliruan dalam menganalisis dan menilai gejala sosial, namun mereka pada umumnya dianggap mempunyai peranan untuk menentukan baik buruknya pola tingkah laku masyarakat. Mereka juga diharapkan dapat menunjukkan aspek-aspek kehidupan sosial yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.

Pemkab Indramayu telah mengeluarkan Perda tentang trafficking, sebuah upaya konstitusional untuk menghentikan terjadinya perdagangan manusia, khususnya prostitusi. Pemkab Indramayu juga terus berupaya mengatasi akar masalah prostitusi di daerahnya dengan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Wajib belajar sembilan tahun menjadi program andalan, sehingga Pemkab Indramayu mengalokasikan anggaran pendidikan tahun 2007 di atas 30%. Berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan dilakukan untuk menghentikan laju tindak asusila ini, sehingga pada gilirannya masyarakat Indramayu tidak perlu keluar dari kampung halamannya untuk mencari nafkah.

Persoalannya, apakah Pemkab Indramayu akan serius mengimplementasikan perda yang telah dibuatnya, baik menyangkut Perda tentang trafficking maupun Perda tentang APBD Perubahan yang mengalokasikan sebagian besar anggarannya untuk pendidikan? Jika serius, tak mustahil, Indramayu di masa mendatang menjadi daerah maju. Prostitusi hanya menjadi sejarah dan kenangan pahit. Sebaliknya, jika program tersebut tidak dilaksanakan secara serius dan berkesinambungan, maka Indramayu sampai kapan pun akan tetap mendapat stigma sentra WTS, pusat tlembuk...! (Wakhudin/”PR”)***

Ingin Jadi Istri Ustaz, Tapi Bagaimana?

JEANE (30, bukan nama sebenarnya) merupakan sosok pelacur asal Kab. Indramayu yang boleh dikatakan sempurna. Artinya, semua tahapan yang biasanya dijalani pekerja seks komersial telah dilakoninya. Pada saat masih sekolah di sebuah SMA di Kec. Losarang, Kab. Indramayu, ia adalah gadis yang cerdas dan ceria. Lazimnya remaja, Jeane juga memiliki seorang pacar yang sebaya dari lain sekolah. Selain saling mengirim surat, mereka juga sering bepergian bersama.

Mereka berdua suatu waktu menonton kesenian tradisional di Kec. Losarang. Saat nonton, Jeane tidak sadar, setelah menenggak minuman pemberian sang pacar. Saat siuman, ia baru mengetahui bahwa dirinya berada di sebuah penginapan. Ia juga melihat darah tercecer di atas sprei alas tidur. Selain rasa lemas dan ngilu di sekujur tubuh, tiba-tiba muncul rasa ketakutan yang luar biasa. Jeane menyadari, dirinya adalah korban perkosaan.

Ia merasa lebih hancur saat mengetahui bahwa pacarnya justru akan menikah dengan gadis lain. Jeane tidak mengetahui mengapa pacarnya begitu tega memerkosanya, tapi kemudian justru menikah dengan orang lain. Hari-hari yang dijalaninya begitu suram dan sangat menekan. Itulah sebabnya, dia kemudian kabur ke Jakarta.

Kehancuran hatinya ia tumpahkan dengan cara menjadi pelacur di ibu kota. Tentu saja ia tidak dapat menikmati profesi ini selain rasa muak dan benci kepada setiap laki-laki. Berbagai prinsip hidup yang baik, ia lupakan. Minum alkohol bersama tamu hingga mabuk sering ia jalani agar mampu melupakan derita yang dialaminya.

”Meski demikian, tiba-tiba ada orang yang datang kepada saya tidak mengajak kencan sebagaimana laki-laki lain. Ia hanya mengajak ngobrol kemudian ngasih uang. Bahkan, laki-laki asal Aceh itu memberi saya nomor telefon. Nomor itu terus saya simpan sampai sekarang,” kata Jeane.

Perempuan berkulit hitam manis ini dalam seminggu tidak dapat melupakan lelaki yang baik hati dan tidak mau menjamahnya itu. Meski demikian, setelah beberapa saat ia dapat melupakannya. Bahkan, akhirnya Jeane pindah bekerja di panti pijat di Pulau Batam. Selama berada di pulau ”kembaran” Singapura ini, Jeane menjalaninya sebagaimana para PSK yang lain. Sore hari dibawa ke hotel, pagi hari kemudian kembali ke asuhan mucikari.

Namun menjelang usianya ke-28, dia memilih keluar dari rumah-rumah bordil. Ia semakin memimpikan hidup berumah tangga bersama laki-laki yang ia cintai. Kebetulan seorang lelaki kelahiran Sumatra Utara mau hidup bersamanya satu rumah, meski dengan cara kumpul kebo. Tentu saja hidup tanpa ikatan perkawinan sering membuatnya repot, terutama menyangkut nafkah. Itulah sebabnya, meskipun tinggal bersama laki-laki, ia tetap pergi ke tempat-tempat hiburan sebagai pelacur freelance.

**

SAAT saya datang menemuinya siang hari, Jeane sedang duduk ngerumpi bersama para PSK yang lain di teras rumah bordil. Sebagian besar PSK yang lain masih tidur. Lokalisasi Seribu Malam mulai bergairah pada sore hari hingga pagi hari. Saat pagi hingga asar, para WTS ini beristirahat dan tidur.

Hari itu, Jeane tidak dapat tidur lagi. Penyebabnya adalah telefon selulernya yang baru menerima pesan singkat dari laki-laki yang dikaguminya saat bertemu di Jakarta, sembilan tahun silam. Ia mengajak menikah. Jeane berkali-kali merasa bimbang atas tawaran ini, namun menjadi seorang istri yang baik selalu menjadi impian dan selalu menggodanya. Bahkan, Jeane memimpikan menjadi istri seorang ustaz agar dapat melindunginya dan membimbingnya bertobat.

Sebagai perempuan yang semula baik-baik, ia sangat rindu kembali menjadi wanita yang beradab sebagaimana sebelumnya. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Kalau buburnya masih segar dapat dibumbui sehingga menjadi bubur ayam yang lezat. Sayang, bubur pun sudah basi.

”Ya Allah.... Pasti Engkau Maha Pengampun...,” katanya kepada saya saat saya berpamitan. Saya pun berlalu meninggalkannya. (Wakhudin/”PR”)***

Batam, ”Surga” Pelacuran

RUMAH toko (ruko) itu tidak memiliki nama, juga tidak ada spanduk atau papan nama apa pun. Sekilas, orang menyangka bahwa rumah itu kosong, atau setidaknya, rumah ini bukanlah tempat usaha. Tetapi karena seorang sopir taksi meyakinkan saya bahwa ruko tersebut adalah ”sarang” pekerja seks komersial (PSK), maka pagi itu saya masuk ruang itu. Pintu tidak dikunci dan tidak dijaga. Begitu masuk, saya disambut ramah seorang lelaki berusia 50 tahun berperawakan ramping dengan kulit kuning dan bermata sipit.

Ruang di dalam cukup luas, seperti tempat diskotek yang dilengkapi kursi-kursi tamu, tanpa ada penerangan lampu. Seorang wanita yang saya duga istri lelaki tersebut juga menyambut saya seraya menunjukkan ”barang dagangan” mereka di sebuah ruang di sisi diskotek. Tuan rumah yang ternyata ”mami” dan ”papi” ini segera bertepuk tangan seraya berteriak, ”Kerja...! Kerja....!”

Sekira 30 wanita berusia antara 18 tahun hingga 25 tahun segera ambil posisi siap. Sebelumnya, sebagian mereka tidur-tiduran, ada yang mengobrol, atau berjalan mondar-mandir, bahkan sebagian ada yang bercanda di tempat diskotek. Ruang ini ternyata adalah show room, para lelaki hidung belang bebas memilih PSK yang disukai kemudian dibawa ke hotel.

Para PSK duduk di kursi yang ditata mirip kursi-kursi di gedung bioskop. Kursi yang paling depan posisinya paling rendah. Kursi kedua lebih tinggi dari kursi di depan dan lebih rendah dari kursi ketiga dan seterusnya. Bedanya, di gedung bioskop, orang yang duduk menghadap ke layar, sedangkan di sarang WTS ini, orang yang duduk menghadap ke pintu.

Saat saya melongok dari pintu itu, para wanita yang sebagian besar berpakaian seronok itu bertingkah berbeda-beda. Salah seorang di antaranya mengacung-acungkan telunjuk ke dadanya, maksudnya ingin ditunjuk agar saya mengajaknya berkencan. Sebagian melambai-lambaikan tangan, sebagian lain berusaha tersenyum ramah, dan sebagian lain berupaya menundukkan muka.

Tidak mudah memutuskan untuk memilih satu dari 30-an wanita tersebut. Apalagi, saya hanya bermaksud mengecek kebenaran kabar tentang banyaknya show room yang menjajakan PSK di Kota Batam ini. Oleh karena itu saya berbasa-basi menanyakan beberapa hal kepada ”papi” dan ”mami”. ”Memangnya berapa tarif berkencan dengan cewek di sini?” kata saya ingin tahu. ”Tiga ratus ribu untuk 12 jam,” kata ”mami”.

Saya pun menyampaikan keinginan saya untuk mengajak PSK itu untuk short time. ”Di sini ada tempat untuk short time?” tanya saya selanjutnya.

”Tidak, harus dibawa ke hotel. Kita punya hotelnya kok. Murah lagi, cuma Rp 250.000,00 termasuk harga hotel. Hotelnya bagus,” kata ”mami” itu berpromosi.

Meskipun ”mami” memberikan jalan keluar bagi yang ingin short time, tapi saya bersikukuh untuk meninggalkan ”sarang” WTS itu. Saya masih penasaran ingin melihat dengan mata kepala sendiri tentang ”melimpah-ruahnya” PSK di Pulau Batam.

Menurut catatan Yayasan Setara Kita, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang advokasi dan perlindungan korban trafficking di Batam, jumlah WTS di Kota Batam sekira 4.000 orang. Dari jumlah sebanyak itu, sekira 2.500 orang berasal dari Jawa Barat, terutama dari Kab. Indramayu, Subang, Karawang, Sukabumi, Kab. Cianjur, dan sebagainya.

Para PSK ini beroperasi melalui jasa para mucikari, di lokalisasi, dan menyebar di tempat-tempat hiburan seperti karaoke, pub, panti pijat, diskotek, dan sebagainya. Tarif WTS di Batam rata-rata Rp 300.000,00 untuk waktu 12 jam. Tapi tarif WTS dari etnis tertentu bisa mencapai Rp 1 juta untuk sehari.

Tarif WTS yang masih perawan berkisar antara Rp 5 juta sampai dengan Rp 10 juta. ”Jika Anda mau, saya akan memintakan papi menyiapkannya. Pokoknya dijamin benar-benar perawan,” kata Si Meong, panggilan akrab supir taksi.

**

Berkencan dengan WTS yang masih perawan tentu tidak mudah, saya pikir. Selama berkencan, seorang lelaki hidung belang mesti harus menundukkanya, merayunya, dan bisa-bisa perempuan tersebut melarikan diri.

”Tidak mungkin, di antara gadis dan ’papi’ sudah ada perjanjian yang ditandatangani di atas meterai. ’Papi’ sudah menjamin gadis tersebut tidak akan lari. Anda bisa bersenang-senang dengan gadis ini selama tiga hari,” kata Si Meong.

Selain PSK yang masih perawan dan PSK dari etnis tertentu, PSK yang ditawarkan melalui para mucikari merupakan WTS elite. Jika mereka sudah mencapai usia tertentu, misalnya di atas 25 tahun atau sudah tidak memiliki pesona lagi, maka para WTS ini kemudian dimutasikan ke lokalisasi di daerah pinggiran. Jika sebagian besar ”konsumen” WTS di Kota Batam berasal dari Singapura dan Malaysia, maka ”konsumen” WTS di lokalisasi-lokalisasi ini berasal dari ”konsumen” lokal.

Beberapa lokalisasi yang terkenal di Batam antara lain Mat Belanda (PSK di lokalisasi yang ditempuh dengan menyeberang sekira setengah jam ini 90% berasal dari Jawa Barat), Sintae, Sameong, dan Tangki Seribu atau dikenal Seribu Malam.

Disebut ”Seribu Malam” karena pada malam hari lokalisasi ini sangat ingar bingar, namun pemerintah setempat menyebut tempat ini sebagai Lokalisasi Bina Sosial, yang ditempuh selama satu jam perjalanan darat dari Kota Batam.

Tarif WTS di Kota Batam dihitung per 12 jam, sementara tarif WTS di lokalisasi adalah dihitung dari jumlah kencan untuk short time. Sekali kencan tarifnya antara Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 200.000,00, termasuk biaya kamar. Selain biaya kencan, setiap tamu juga harus membayar minuman dan rokok yang dikonsumsi WTS. Oleh karena itu, meskipun short time, setiap tamu akhirnya harus mengeluarkan tak kurang dari Rp 300.000,00 di lokalisasi ini.

Mencari WTS di Batam tidaklah sulit. Supir taksi adalah petunjuk jalan yang paling mudah. Selama melakukan ”perburuan” terhadap PSK di Batam, saya ditemani sopir taksi ini. Hampir semua supir taksi di Batam sangat fasih berbicara tentang dunia prostitusi. Bahkan, mereka dapat dikatakan merupakan marketer yang paling ulung di Batam.

Bagi para supir taksi, memasarkan WTS sangat menggiurkan hasilnya. Dari setiap nilai transaksi Rp 300.000,00, yang diperoleh seorang WTS, misalnya, supir taksi yang mengantarkannya mendapatkan Rp 100.000,00. WTS sendiri yang ”bekerja” selama 12 jam hanya mendapatkan Rp 90.000,00, sedangkan mucikari memperoleh Rp 110.000,00.

Selama melakukan ”perburuan” terhadap WTS, saya ditemani supir taksi ini. Setelah memasuki ruko yang tanpa papan nama, saya kemudian diajak ke beberapa pub dan panti pijat yang juga sama-sama menyediakan WTS.

Modus dan cara menyajikan ”dagangannya” pun nyaris sama, menggunakan show room. Dengan melihat etalase, setiap tamu dapat memilih perempuan yang disukai kemudian membawanya ke hotel. Mereka yang malu menggandeng cewek di depan umum, cukup menyebutkan nama hotel dan nomor kamarnya. Dalam waktu singkat, cewek yang dipesan akan datang diantar supir taksi.

Nyaris semua supir taksi mewanti-wanti agar tamu yang akan memesan WTS tidak mengambilnya dari sembarang tempat, seperti dari diskotek, pub, atau bar yang tidak memiliki koordinator. WTS freelance, menurut para supir taksi, membahayakan dan tidak aman. Setelah berkencan, saat sang tamu sedang tertidur, WTS ini sering mencuri barang-barang milik tamu dan kemudian kabur.

”Jangankan sedang tidur, saat tamu ke kamar mandi, WTS ini sudah mampu menyikat barang-barang berharga dan menyelinap keluar kamar tanpa diketahui. Lalu, tamu mau menyampaikan complaint kepada siapa? Kalau memesan WTS dari mucikari, kita bisa menyampaikan keluhan kepada mereka. Pasti semua barang-barang yang hilang dapat dikembalikan,” kata Nasution, supir taksi di Kota Batam yang mengantarkan saya ke berbagai tempat pelacuran dan lokalisasi.

Selain soal keamanan, para supir taksi juga mengingatkan masalah kesehatan. Para WTS yang di bawah pengawasan ”papi” dan ”mami” relatif lebih terjaga kesehatannya. Mereka setiap minggu diharuskan melakukan kontrol kesehatan kepada dokter-dokter yang ditunjuk. Sedangkan WTS freelance tidak memiliki pengontrol untuk mengecek kesehatannya. Mereka bebas melakukan apa pun, mengecek kesehatan atau tidak, tak ada yang mengharuskannya.

Para WTS freelance di Batam pada mulanya WTS di bawah ”asuhan” mami dan papi juga. Setelah merasa senior dan mengetahui medan, mereka tidak mau lagi terikat dengan para mucikari itu.

Apalagi dengan bernaung di bawah mucikari, WTS harus membagi tiga penghasilannya, yaitu untuk dirinya, mucikari, dan supir taksi.

Dengan menjadi freelance, seorang WTS dapat meraih semua penghasilannya untuk dirinya sendiri, kecuali membayar supir taksi sesuai jarak yang ditempuh. Itu pun seringkali dibebankan kepada tamu yang memesannya.

Suasana memilih wanita tak ubahnya jual-beli barang, sehingga memilih mereka seperti memilih budak belian.

Namun, Nasution, tukang taksi membantah bahwa para wanita di Batam ini diperlakukan secara kasar. Justru PSK di Batam mendapatkan perlakuan yang amat baik. Sebaliknya, para tamu yang menikmati dunia esek-esek juga mendapatkan ”surga” kebebasannya di Batam.

Kota Batam sampai saat ini belum selesai menggodok perda soal ini dan tidak pernah melakukan razia terhadap praktik pelacuran. Itulah sebabnya, para WTS yang dulunya berpraktik di Tanjungbalai Karimun secara diam-diam berpindah ke Batam. Sebagian lain pindah ke Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau yang juga belum menuntaskan perda yang memberantas trafficking ini. (Wakhudin/”PR”)***

Anak pun Jadi Korban ”Traficking”

KORBAN trafficking tidak hanya menimpa orang yang secara langsung menjadi korban trafficking, seperti perempuan yang dilacurkan, melainkan juga menimpa generasi mendatang yang sama sekali tidak berdosa. Kisah memilukan ini setidaknya menimpa Ihsan (4 bulan). Ibunya seorang pekerja seks komersial (PSK) di Tanjungbalai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, menderita HIV/AIDS.

Saat melahirkan di rumah sakit daerah setempat, ibunya tidak bersedia mengasuhnya. Maka rumah sakit kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Yayasan Kaseh Puan di Jln. Wonosari No. 37 Kel. Baran Kec. Meral, Tanjung Balai Karimun. Belum diketahui apakah anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang positif mengidap HIV/AIDS ini juga mengidap HIV/AIDS. Sebab, anak tersebut baru dapat diketahui jika sudah berusia 6 bulan.

Yang jelas, Yayasan Kaseh Puan yang bergerak di bidang kesehatan dan pemberdayaan perempuan ini seperti memiliki anak sendiri. Staf LSM yang sebagian besar wanita setiap saat bergantian menimang, memberi susu, mengganti popok, dan menidurkannya di atas tempat tidurnya. Saat bangun, Ihsan tersenyum dan sering mengajak para pegawai Kaseh Puan bercanda khas anak-anak.

Pipit, seorang PSK yang saat ini tinggal di Payalabu, berjarak setengah jam perjalanan dari Kota Tanjungbalai mengaku sangat stres. Akibatnya, saat berada di lokalisasi sering bertengkar dengan PSK yang lain. Bagaimana tidak, semula ia merupakan PSK yang relatif produktif saat tinggal di Vila Garden, Kota Tanjungbalai. Namun karena usianya yang semakin tidak muda lagi, ”mami” menjualnya ke mucikari di Payalabu. Hatinya merasa sakit seperti diiris. Degradasi akibat pemindahan dirinya dari lokalisasi kelas elite ke kelas dua menyebabkan ia sering emosi.

Yang lebih menyedihkan, di balik pemindahan dirinya dari Vila Garden ke Payalabu ternyata ada uang transfer di luar sepengetahuannya. Mucikari yang memperkerjakannya di Vila Garden ternyata telah menjual Pipit seharga Rp 3 juta. Akibatnya, ia harus mengembalikan uang transfer tersebut kepada ”maminya” yang baru. Sementara tamu di Payalabu tidak seramai seperti di Kota Tanjungbalai Karimun, di samping harganya juga mengalami degradasi.

Saat di Kota Tanjungbalai ia dibayar Rp 300.000,00 meski harus berbagi dengan mucikari dan tukang ojek, namun di Payalabu ia hanya dibayar Rp 125.000,00. Dengan penghasilan seperti itu, Pipit tidak tahu kapan dapat membayar utang maminya tersebut. Itulah sebabnya ia tidak dapat mengatakan kapan dirinya akan berhenti sebagai pelacur. Hari-hari ke depan dihadapi dengan sedih dan suram, dengan duduk-duduk di depan rumah-rumah bordil sembari mengobrol dengan sesama PSK, meski kadang sering bertengkar.

Akibat menjadi pelacur, Pipit sempat mengandung dan melahirkan. Anaknya kemudian dipungut oleh sang mucikari. Namun ia tidak tahu lagi ke mana anak tersebut. Irwan Setiawan, Ketua Yayasan Setara Kita yang berpusat di Batam mencurigai bahwa di balik prostitusi seringkali terjadi trafficking berupa penjualan bayi. Anak-anak yang lahir dari para pelacur dipungut oleh para mucikari untuk kemudian dijual dan diselundupkan ke luar negeri.

Pipit yang berasal dari Losarang, Indramayu ini mengaku terjun ke dunia prostitusi setelah mengalami frustrasi ditinggal pacarnya. Setelah berulang-ulang menyerahkan kehormatan kepada pacarnya, ternyata pacarnya tersebut akhirnya menikah dengan wanita lain. Karena kesal, ia kabur ke Palembang. Di Sumatra Selatan ini, ia bekerja di kafe melayani para tamu untuk menyuguhkan makanan dan minuman.

Di Palembang, modus penjeratan terhadap Pipit juga sama, dengan cara utang. Dengan dianggap memiliki utang, Pipit akhirnya harus melayani nafsu seks lelaki hidung belang. Meski telah bekerja dengan keras, tetap saja utang itu tidak kunjung lunas. Bahkan sampai akhirnya ia terdampar di Vila Garden karena ditransfer oleh mucikarinya ke Tanjungbalai Karimun. Tapi, lagi-lagi habis manis sepah dibuang, saat dinilai tidak produktif, Pipit kembali terlempar menjadi perempuan yang benar-benar dinilai ”bejat”, baik bejat secara fisik, bejat hati, bahkan juga bejat secara moral. Tapi ia tidak berdaya.

Lain lagi dengan Pia (21), gadis asal Patrol Indramayu ini justru terjun sebagai pelacur dengan kemauan sendiri. Anak keempat dari tujuh saudara ini berangkat ke Tanjungbalai Karimun atas ”restu” kedua orang tuanya. Kakak perempuannya yang terlebih dahulu tercebur di Vila Garden mendorongnya ikut terjun ke dunia esek-esek di daerah perbatasan RI-Singapura-Malaysia. Meski demikian, ia tidak masuk ke dalam jajaran ”elite” di Vila Garden, melainkan langsung terlempar ke Payalabu.

Meski demikian, Pia mengaku tidak puas bekerja sebagai PSK. Jika di kampungnya memiliki pekerjaan yang halal, ia lebih memilih pekerjaan halal tersebut daripada harus berjauh-jauhan dengan orang tua. Apalagi, bekerja sebagai pelacur seringkali banyak kejadian di luar keinginannya. Laki-laki berbuat kasar sembari mabuk merupakan salah satu peristiwa yang menyebabkan dia tidak melupakan peristiwa buruk itu. (Wakhudin/”PR”)***

Berani Lapor, Furi Selamat dari “Trafficking”

WANITA berinisial DL (25 tahun) atau sebut saja namanya Furi, adalah salah satu korban trafficking yang akhirnya terdampar di Tanjungbalai Karimun, Kepulauan Riau. Penduduk Desa Bojonggaling Kec. Bantargadung Kab. Sukabumi ini semula dijanjikan untuk bekerja sebagai pegawai restoran di Kepulauan Riau untuk melayani berbagai kebutuhan makan dan minum para tamu. Apalagi, janji manis itu ditambah dengan iming-iming bahwa perjalanan ke daerah tujuan sama sekali tidak membayar.

Furi yang selama enam bulan ditinggal suaminya merantau ke daerah Kepulauan Riau ini tergiur. Dengan maksud siapa tahu dapat bertemu suaminya yang berjualan sepatu dan sandal, ia ikut seorang calo berinisial As. Ia kemudian diterbangkan menggunakan pesawat melalui Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Batam. Dari Batam, Furi kemudian diserahkan kepada seorang penjemput dan diseberangkan selama satu jam ke Tanjungbalai Karimun.

Di Tanjungbalai Karimun, Furi memang dipekerjakan sebagai pelayan untuk mengurusi masalah makan dan minum. Namun yang dilayani adalah para tamu di sebuah tempat yang akan ”jajan” seks. Furi juga melayani makan dan minum para pekerja seks komersial (PSK).

Melihat tempat kerja yang demikian, Furi curiga bahwa dirinya terjebak dalam sindikat perdagangan wanita. Ia semakin yakin bahwa dirinya terperangkap ketika dikatakan bahwa dirinya berutang sebesar Rp 5 juta. Jumlah itu dihitung dari biaya perjalanan dari daerahnya di dekat Palabuhanratu Sukabumi hingga ke Tanjungbalai Karimun. Untuk melunasi utang-utang tersebut, Furi diminta juga melayani para tamu sebagaiamana dilakukan para PSK lainnya.

Ia pun menolak, bahkan tidak mengakui terhadap utang yang diklaim sindikat tersebut. Meski demikian, mucikari yang memperkerjakannya berupaya memaksanya. Sebelum berhasil mempekerjakan, Furi lebih dahulu kabur dan melapor ke Polres Tanjungbalai Karimun. Dari kepolisian, Furi kemudian dipulangkan ke daerahnya Senin (22/1) melalui Yayasan Kaseh Puan atas biaya IOM, setelah terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kesehatan di RS Polri di Kramatjati, Jakarta.

Trafficking dengan cara penipuan seperti ini sudah banyak dialami para wanita, termasuk dari Jawa Barat. Namun tidak banyak dari korban yang berani melaporkan kasusnya ke polisi atau pihak lain yang mampu menolongnya. Dari ribuan PSK di Tanjungbalai Karimun, Yayasan Kaseh Puan baru telah berhasil menyelesaikan 75 masalah. Itu artinya, para korban trafficking tidak berdaya, dan merasa tidak memiliki alternatif selain menjalani saja yang apa yang menimpa dirinya. (Wakhudin/”PR”)***

Menulusuri Esek-esek di Kabupaten Subang
Pesisir Lebih Membara

MENELUSURI dunia esek-esek di Kab. Subang, Jawa Barat, berarti kita harus mempelajari kabupaten ini secara kultural.

Masyarakat Subang secara budaya terdiri dari tiga kategori, yaitu masyarakat pegunungan, masyarakat pertengahan, dan masyarakat pantai atau pesisir. Menelisik praktik prostitusi di wilayah pegunungan dapat dicari di daerah wisata Ciater maupun di sekitar Subang kota.

Saya tidak secara spesifik menelusuri pelacuran di wilayah pegunungan, kecuali di sebuah tempat di kilometer dua, jalan antara Subang-Pamanukan. Menuju tempat ini tidaklah mudah. Sebab, bertanya kepada sembarang orang justru membuat orang yang ditanya terbengong-bengong. Namun seorang tukang ojek berhasil mengantarkan saya ke tempat tersebut di Desa Bungur, Kec. Pagaden, Kab. Subang.

Dengan memasuki jalan kampung sedalam dua kilometer yang berkelak-kelok, sampailah saya ke suatu rumah. Di rumah ini saya disambut seorang gadis berbaju abu-abu putih, seragam SMA. Dalam hati saya tidak percaya bahwa pelajar ini adalah pelacur. Ternyata memang bukan, dia hanya anaknya pemilik rumah bordil itu. Meski demikian, sembari menyodorkan minuman yang saya pesan, dia pun ”mengoceh” mengajak minum di kamar secara bersama-sama.

”Lalu?” kata saya.

”Ya, minum saja. Kalau saya sudah mabuk, saya akan tidur di tempat tidur saya. Sedangkan Akang, yang terserah,” katanya.

Rupanya, gadis ini sekadar menemani saya sebagai tanda selamat datang. Setelah menunggu cukup lama, sekira 30 menit, dua orang perempuan yang baru saja mandi menemui saya. Perempuan yang satu mengaku berasal dari daerah Jatitujuh, Kab. Majalengka, sedangkan yang satunya lagi mengaku asli Subang. Usia keduanya sekira 30 tahunan.

Saya hanya mengobrol sebentar di ruang tamu, saling berkenalan, kemudian berpamitan, setelah membayar minuman dan tentu saja uang tips. Saya menilai bahwa rumah bordil itu tidak istimewa, karena hanya satu rumah yang mempekerjakan 10-an orang.

Yang aneh hanyalah tempatnya yang berada di perkampungan asri di antara rerimbunan pohon. Meskipun harus ditempuh melalui jalan yang berkelak-kelok, toh banyak juga lelaki hidung belang yang menyambangi tempat ini.

Para pelanggan bisa memuaskan nafsunya di rumah itu. Sebab, di dalamnya terdapat dua kamar yang dapat digunakan untuk melakukan hubungan intim instan, meskipun tempat tidurnya amat kumuh. Namun lazimnya, para tamu membawa kupu-kupu malam ini ke berbagai hotel yang ada di Kota Subang.

Kalaupun tamu tidak mengetahui tempatnya, dengan bantuan tukang ojek, para wanita tuna susila (WTS) ini akan diantar ke tempat penginapan.

Saya sempat mencari-cari tempat prostitusi lain di Kecamatan Pagaden, yang konon, melibatkan ayah-ibu dan anak-anaknya. Namun saya gagal menemukannya. Maka perjalanan menelusuri dunia esek-esek saya arahkan ke wilayah pantai utara (pantura).

**

Konon, dunia esek-esek di daerah pesisir lebih menggairahkan, bahkan membara. Justru di daerah-daerah pinggir pantai saya menemukan sejumlah tempat prostitusi kelas menengah ke bawah di wilayah nelayan.

Rumah-rumah bordil didaerah pesisir ditandai dengan bale-bale yang diisi sejumlah sound system berkekuatan besar untuk mengiringi para tamu berjoged. Para WTS akan menemani para tamu berjoged dan minum, dan kemudian masuk kamar jika sang tamu menghendakinya.

Meskipun menemukan banyak rumah bordil, saya lebih betah berlama-lama di Pantai Patimban, Kec. Pusakanagara. Setiap pengunjung dikenai uang masuk Rp 2.500,00 untuk memasuki wilayah pantai ini.

Pantai Patimban, seperti halnya pantai-pantai lain di daerah Pantura, terlihat agak kotor, bahkan airnya cenderung cokelat campur tanah. Meski demikian, pemandangannya cukup eksotik, dan termasuk lumayan untuk berwisata bagi turis lokal. Di malam hari, Pantai Patimban banyak dimanfaatkan pasangan berpacaran.

Yang membedakan dengan pantai-pantai lain di daerah Pantura, di sepanjang pantai berdiri banyak kafe yang menyediakan ikan bakar dan berbagai macam minuman. Tentu saja, minuman beralkohol adalah bisnis utama di kafe tersebut.

Yang sangat mencolok, di setiap kafe terdapat 5 - 10 wanita muda. Mereka secara agresif menawarkan berbagai macam minuman. Selama makan dan minum, para tamu akan ditemani gadis-gadis khas Pantura ini. Kafe-kafe ini buka dari pagi hari hingga larut malam, bahkan ada yang buka 24 jam.

Di setiap kafe yang terbuat dari bambu ini, terdengar musik Dermayon lengkap dengan sound system yang dapat memekakkan telinga. Sulit mendengarkan pembicaraan kecuali sembari menempelkan mulut ke dekat kuping lawan bicara. Justru situasi seperti ini yang banyak dimanfaatkan para tamu untuk berdekat-dekat dengan para pelayan yang umumnya berpakaian seksi.

Saat memilih-milih sebuah kafe yang cocok, saya disambut seorang hostess. Sebutlah, namanya Imung, ia adalah gadis berusia 14 tahun yang masih duduk di kelas III SMP. Meskipun usianya masih sangat belia, tapi Imung terlihat dewasa karena badannya yang bongsor, tinggi dan besar.

Mestinya ia bersekolah, namun dalam tiga bulan terakhir, Imung tidak masuk kelas karena harus mengikuti uwaknya yang mengelola kafe tersebut.

Tugas Imung adalah menemani para tamu makan dan minum. Menjelang pulang, para tamu biasanya memberikan uang tips kepadanya. Bahkan, kalau tamu tersebut puas, mereka memberikan uang tips yang lumayan untuk uang jajan.

”Apakah tamu tersebut suka usil, mencium, atau tangannya gerayangan,” tanya saya.

”Ya biasa. Tapi kalau dia mau, siapa yang mau melarang?” kata gadis yang ibunya sedang bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Taiwan ini.

Meski demikian, kafe-kafe tersebut tidak menyediakan kamar prostitusi. Beberapa perempuan yang diajak kencan justru tersinggung. ”Saya bukan perempuan begituan. Tuh cari yang di depan,” katanya.

Meski demikian, tukang membakar ikan di kafe tersebut mengungkapkan, sebagian para hostess yang menemani makan dan minum para tamu tersebut bisa diajak keluar pantai untuk berkencan.

Meski hanya menemukan dunia prostitusi yang samar-samar, saya sempat berlama-lama menikmati semilirnya angin laut di Pantai Patimban, sembari makan es krim bersama Imung. Di antara gemuruhnya ombak dan ingar-bingarnya musik di kafe-kafe tersebut, masyarakat secara berombongan maupun sendiri-sendiri menikmati mandi di pantai yang keruh sembari berkejar-kejaran.

**

Yang nyata-nyata merupakan lokalisasi adalah di daerah Pondok Putri Legon, Kec. Pamanukan Kab. Subang. Memasuki lokalisasi Legon harus melewati beberapa kolam yang merupakan tambak, atau jalan melalui pinggir sungai, meskipun jalannya sangat buruk.

Terdapat 17 rumah yang secara aktif mempekerjakan 50 orang wanita tuna susila (WTS). Rumah-rumah mereka sangat berdekatan dengan pantai, dan antara rumah bordil dengan rumah penduduk tidak ada pembatasnya.

”Ada sebuah ormas yang pernah berusaha membubarkan lokalisasi ini. Namun masyarakat sekitar justru berada di pihak kita. Mereka ramai-ramai turun ke jalan mengusir ormas yang melakukan demo tersebut,” kata Kiran (bukan nama sebenarnya), seorang mucikari yang mempekerjakan enam WTS.

Meskipun tempatnya terpencil, lokalisasi Legon mempekerjakan PSK dari berbagai tempat di Indonesia. Sebagian besar memang berasal dari Kab. Subang, Indramayu, dan Kab. Karawang. Namun sebagian PSK lain datang dari Brebes, Kendal, Surabaya, dan Lampung. Rumah-rumah bordil di Legon dibangun di depan tambak yang luas.

Via (23) mengaku berasal dari daerah Losarang, Brebes, wilayah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Ia mengaku datang ke Legon karena dijebak seseorang yang berjanji akan memperkerjakannya di suatu kafe.

Ibu dari seorang anak yang ditinggal mati suaminya ini ditawari untuk bekerja melayani makan dan minum para tamu. Meski demikian, lama kelamaan ia dipaksa melayani laki-laki hidung belang, karena selama tinggal di tempat maminya ia berutang guna membiayai hidupnya. Untuk membayar utang tersebut, Via terpaksa melayani para tamu yang datang untuk meminta jasanya.

Nyaris sama dengan Via, Ovi (19), gadis lulusan SMA di Kendal, Jawa Tengah ini juga mengaku akan dipekerjakan sebagai pelayan sebuah kafe untuk melayani makan dan minum. Lagi-lagi, dengan dijebak utang yang dihitung dari perjalanan dari kampung halamannya hingga ke lokalisasi itu, ia dipaksa melayani seks para tamu. Akibatnya, ia pernah hamil dan melahirkan di usia kehamilan 6 bulan. Anaknya pun tidak bisa diselamatkan.

Setelah melahirkan, gadis berdarah Jawa-Tionghoa ini seperti mengalami trauma. Ia melakukan kesepakatan dengan mami, induk semangnya. Ovi hanya mau melayani tamu yang ia suka. Maminya berjanji tidak akan memaksa Ovi melayani tamu yang tidak disukainya. Oleh karena itu, meskipun banyak tamu ingin mem-booking-nya, namun Ovi sering menolaknya.

Meskipun menjadi pelacur, Ovi memiliki pacar yang berasal dari Kab. Karawang. Dalam seminggu, pacarnya berkunjung dua kali atau kadang sekali. Pada kaca tempat merias, Ovi menulis dengan spidol besar tentang kerinduannya terhadap pacarnya tersebut.

Beberapa boneka mungil dan lucu menghiasi nyaris seluruh kamarnya. Suasana anak-anak dan remaja sangat terasa di kamarnya yang senantiasa bersih. Namun kenyataan pahit telah mengurungnya, sehingga ia tak bisa berkutik dari trafficking yang telah membelenggunya. Hanya uluran tangan pihak berwajib serta orang-orang yang peduli akan menyelamatkan Ovi, Via, dan Legon, serta moral masyarakat. Siapa peduli? (Wakhudin/”PR”)***

Menelusuri PSK di ”Lumbung Tlembuk”

ANDA akan mencari pekerja seks komersial (PSK) di Kabupaten Indramayu? Dijamin, akan kecewa, sebab tidak akan menemukannya. Bolehlah orang mengatakan bahwa wanita tuna susila (WTS) di berbagai kota besar di Indonesia--seperti Bandung, Jakarta, Batam, Tanjungbalai Karimun, Tanjungpinang--berasal dari Indramayu. Tetapi di Indramayu sendiri, WTS itu tidak ada, kecuali beberapa orang. Itu pun sudah berumur lebih dari 25 tahun.

Dalam dunia pelacuran, usia di atas 25 tahun pada umumnya sudah terlalu tua, kecuali dalam pelacuran kelas menengah ke bawah. Bahkan, dapat dikatakan, mereka hanyalah tlembuk bodhol. Memang ada lokalisasi cukup besar di Kecamatan Haurgeulis yang populer disebut CI (Cilegeng Indah), tapi WTS-nya tidak semua dari Indramayu, melainkan dari Subang, Karawang, bahkan ada yang berasal dari luar Jawa Barat.

Sepanjang akhir tahun 2006 hingga awal tahun 2007, saya sempat menelusuri Kab. Indramayu melalui Kec. Jatitujuh di Kab. Majalengka hingga Haurgeulis dan kemudian menyeberang ke Kab. Subang melalui Kec. Compreng. Maksud hati ingin mencari PSK di Indramayu, sebuah kabupaten yang sangat tersohor sebagai sentra pengiriman PSK. Seorang penunjuk jalan menyebutkan bahwa di Desa Nunuk, Kec. Lelea terdapat perkampungan yang di dalamnya terdapat bisnis esek-esek.

Maka saya menuju ke Desa Nunuk itu. Kebetulan di sana terdapat makanan khas Indramayu, pedhesan enthog, yakni jenis itik yang dimasak mirip gulai dengan rasa pedas. Sembari menikmati pedhesan enthog yang mak nyos, saya menanyakan tempat para PSK mangkal itu, meski sembari malu-malu. Namun demikian, jawabannya justru lugas, masyarakat tidak malu-malu menyebutkan tempat di mana para WTS itu berada, yaitu di tepi sawah.

Sekira 500 meter dari warung pedhesan enthog, saya menelusuri pinggir sawah hingga menemukan rumah yang dimaksud, sebuah rumah sederhana dengan lantai dari tanah. Seorang lelaki setengah baya dengan kacamata tebal menyambut saya dengan ramah sembari mempersilakan masuk ke dalam bale-bale. Setelah menyalakan kipas angin kecil di atap, lelaki tua ini kemudian segera memanggil beberapa cewek yang sedang berada di rumah anaknya di sebelah.

Dua orang perempuan kemudian datang menemani saya mengobrol sambil menghidangkan minuman dalam botol. Meskipun berada di kampung pinggir sawah, saya ditawari minum bir dan rokok. Beberapa penganan juga disuguhkan. Kami berempat saling pandang, kaku, tidak ada pembicaraan.

Lelaki setengah baya yang duduk di jojodog (bangku kayu kecil) itu kemudian memulai menanyakan tentang saya dan perjalanan saya, sekadar untuk basa-basi. Setelah beberapa saat, pembicaraan kami pun lancar, dan kami saling berkenalan. Seorang mengaku bernama Badra, dan seorang lagi bernama Praba (bukan nama sebenarnya).

Sekilas, dua wanita ini berusia 30 tahun, namun ia mengaku 25 tahun. Keduanya pernah merantau sebagai PSK di Jakarta. Mereka pulang karena ingin dekat dengan orang tua dan anak-anak mereka. Setelah bercerai dari suaminya, Badra harus menanggung dua orang anaknya, sedangkan Praba harus menghidupi anak semata wayangnya.

Keduanya sesungguhnya tidak tinggal di Desa Nunuk, melainkan di desa lainnya. Mereka berada di Desa Nunuk hanya mencari nafkah dengan melayani para tamu hidung belang. Ia datang di pagi hari dan pulang menggunakan ojek di sore hari.

”Jajan” di Nunuk tarifnya Rp 50.000,00 namun tamu harus membayar semua minuman dan penganan yang disajikan. Dengan alasan sedang tidak enak badan, saya kemudian pamit dengan tetap membayar tarif yang mereka tetapkan. Perjalanan pun saya teruskan ke arah daerah-daerah yang paling banyak mengirimkan WTS, yaitu Kec. Gabus, Kec. Bongas, dan Kec. Kroya.

**

Sepanjang perjalanan menuju Kec. Gabus, Kec. Bongas, dan Kec. Kroya, saya tidak menemukan perempuan berpakaian seronok sebagaimana mudah saya disaksikan di tempat-tempat lokalisasi. Suasana religius dengan anak-anak yang pergi ke musala untuk mengaji justru saya sering temukan. Di sebelah kiri dan kanan membentang sawah tadah hujan yang sedang digarap masyarakat setelah turun hujan di akhir Desember 2006. Meski demikian, sebagian lainnya masih kering dan tidak kunjung turun hujan.

Di Kec. Gabus, baik Gabus Wetan maupun Gabus Kulon, saya tidak menemukan tempat prostitusi. Saya baru menemukan dua rumah yang masing-masing berisi lima PSK di Kec. Bongas. Meski demikian, malam 30 Desember merupakan malam takbiran untuk memperingati Iduladha. Oleh karena itu, para PSK itu pulang ke kampung masing-masing. Meski demikian, saya sempat bertemu dengan seorang PSK yang sudah berdandan rapi dan siap menenteng tas.

Saya sesungguhnya mau pamit dan tidak bermaksud mampir. Tapi dua orang maminya memanggil saya untuk singgah. Saya tidak tega mengganggu PSK itu yang sudah siap pulang dan ditunggui tukang ojek. Maka saya pun menyarankan dia untuk segera pulang. Yang mengherankan saya, ternyata PSK pun memiliki unggah-ungguh dan sopan santun yang tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dua orang maminya disalami dan dicium tangannya. Demikian pula beberapa orang dewasa juga disalami dengan takzim, setelah itu ia melambai sembari menenteng tas, dengan mengendarai ojek.

Setelah magrib 30 Desember 2006 itu, saya meneruskan perjalanan menelusuri Indramayu. Saya menuju ke Kec. Haurgeulis, di sana ada lokalisasi yang cukup tua bernama Cilegeng Indah (CI). Setelah melewati Kota Haurgeulis, saya belok ke arah kiri. Setelah melewati pertigaan, ke sebelah kanan menuju ke arah Pondok Pesantren Al-Zaitun, sedangkan ke kiri ke arah CI.

Sebagaimana di Kec. Bongas, sebagian besar penghuni CI juga pulang kampung di malam Iduladha itu. Meski demikian, karena lokalisasi CI cukup besar, di antara yang pulang masing terdapat 10-an cewek yang tinggal di lokalisasi ini. Justru karena para penghuninya pulang kampung, saya dapat menginap di lokalisasi ini. Seorang pemilik rumah mempersilakan saya tidur di salah satu kamar yang biasa dihuni WTS. Kendaraan segera saya masukkan ke dalam ruang diskotek.

Meskipun badan penat luar biasa, tapi saya tidak mudah tidur di kamar WTS. Maka saya memilih nongkrong di bale-bale di depan kafe. Saat itu saya dapat menyaksikan, sesekali datang tamu, sepuluhan PSK yang masih tersisa kemudian melayani tamu tersebut ngobrol di ruang kafe sembari minum. Setelah masuk ke kamar, tamu tersebut kemudian membayar bon yang disodorkan PSK tersebut dan terus pamit. Malam itu saya menyaksikan beberapa tamu datang di beberapa rumah, namun secara umum CI malam itu benar-benar tutup. Semua rumah mematikan lampu. Meski demikian, kalau ada tamu yang datang, masih ada PSK yang melayaninya.

Di CI ada 30-an rumah yang menyediakan PSK dan kamar-kamar untuk prostitusi. Setiap rumah setidaknya memiliki 4 -5 PSK. Selain rumah-rumah yang masuk ke dalam, rumah-rumah di pinggir jalan cukup atraktif menawarkan jasa prostitusinya, sehingga siapa pun yang lewat jalan di Haurgeulis ini akan tahu bahwa tempat tersebut adalah lokalisasi, meskipun mereka cukup jauh dari rumah-rumah penduduk.

Saat hendak kembali masuk kamar, seorang WTS keukeuh ingin masuk dan memijat saya. Tapi saya tidak suka melihat hidungnya yang mancung seperti orang India karena mendapat suntikan silikon. Apalagi parfumnya yang menyengat membuat saya semakin pusing. Dengan memberikan uang tips, maka saya dapat mengusirnya dengan sopan.

Karena terganggu, saya tidak bisa tidur lagi. Saya kembali memilih bale-bale di luar rumah untuk tidur. Meski angin malam yang kencang menerpa CI, saya memilih bertahan di tempat ini. Seorang pemilik rumah bordil pun keluar menemani saya tiduran di luar. Ia bercerita bahwa usaha prostitusi di CI harus menyewa rumah seharga Rp 8 juta setahun. Meski demikian, setiap bulan ia harus setor Rp 2 juta ke pihak keamanan, ditambah uang bensin yang besarnya tidak menentu setiap hari.

Karena besarnya pungutan ini, saya melihat beberapa rumah kosong, tak ada penyewanya. Rupanya, bisnis esek-esek pun tidak mudah dan banyak yang mengalami kebangkrutan. Sekilas, prostitusi adalah menjual jasa seks, di mana modalnya tidak pernah habis. Nyatanya, mereka bangkrut, PSK terlantar, dan yang mengeksploitasi mereka tidak mau tahu.

Setelah berkeliling Indramayu, seketika saya berkesimpulan, jangan-jangan masyarakat Indramayu sesungguhnya suci. Mereka ingin hidup bersih, tanpa barang haram, apalagi harus mengeksploitasi anak-anak dan istri mereka. Kalaulah perut mereka kenyang, kalaulah kampung halaman mereka makmur, dan seandainya mereka memiliki keterampilan yang lain dan terpelajar. Tapi kapan? Saatnya semua stakeholders memikirkan dan mewujudkannya. (Wakhudin/”PR”)***

Ketika Rumah tak Ramah Bagi Penghuninya

RUMAH sering dipandang sebagai tempat perlindungan paling aman bagi keluarga. Rumah juga bukan sekadar tempat untuk melepaskan lelah saat anggota keluarga pulang dari aktivitas masing-masing, tetapi rumah diharapkan dapat memberikan ketenteraman dan kesejukan bagi penghuni rumah tersebut.

Namun, rumah bagi sebagian orang boleh jadi merupakan awal dari suatu penderitaan berkepanjangan yang tidak terlupakan dan tidak terperikan dalam sejarah hidupnya. Alasannya, rumah bagi orang tersebut merupakan tempat dia mendapatkan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan lainnya.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saat ini memang semakin banyak dan kerap muncul di sejumlah pemberitaan media massa. Jika pada awalnya kekerasan yang banyak muncul adalah kekerasan suami terhadap istri dalam berbagai bentuk, kini mulai merebak pula kekerasan terhadap anak, ibu, bapak, nenek, dan lainnya yang pelakunya justru anggota keluarganya sendiri.

Misalnya kasus tewasnya Komar (35), warga kampung Babakan Sukamulya, Desa Margamulya Kec. Sukaresik Kab. Tasikmalaya, Selasa (20/3). Pelaku penganiayaan ternyata terbilang keluarga korban, yaitu dua adik kandung dan ayah korban. Atau seorang anak yang membakar ibunya di Ciamis, lalu seorang ibu di Malang, Jawa Timur yang meracuni empat putranya hingga tewas, atau seorang ibu yang melakukan pembunuhan terhadap tiga orang putranya di Bandung.

Ini merupakan beberapa contoh kasus KDRT yang muncul ke permukaan, di mana pelakunya merupakan anggota keluarga sendiri. Mungkin masih banyak kasus KDRT lainnya di mana pelakunya melibatkan anggota keluarga.

Menurut dr. H. Syafari Soma, Sp.K.J., dari Bagian Litbang Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, sebenarnya kasus KDRT yang pelakunya merupakan anggota keluarga korban sudah ada dari dahulu, misalnya anak yang mendapatkan siksaan dari orang tuanya semacam kasus Ari Hanggara tahun 1980-an. Begitu juga dengan kasus pembunuhan antarsaudara, sejarahnya dari dahulu sudah ada seperti cerita pembunuhan antarsaudara pada zaman Nabi Adam.

”Cuma tidak sampai terekspos karena hal tersebut dahulu dianggap lumrah dan biasa. Seperti kasus anak dipukuli orang tuanya, dahulu dianggap biasa karena dianggap sebagai salah satu bentuk pengajaran pada anak. Namun sekarang dengan adanya undang-undang, orang mulai aware sehingga banyak muncul ke permukaan. Di Amerika, kesadaran terhadap kekerasan pada anak baru muncul pada tahun 1874,” katanya.

**

Faktor penyebab KDRT sebenarnya cukup kompleks. Tidak sesederhana yang dipikirkan orang, terutama saat ini. Menurut Syafari, kekerasan itu ditularkan. Artinya, kekerasan dipicu oleh kekerasan yang sudah ada dan kemudian disampaikan lewat televisi, radio, surat kabar secara terbuka. ”Apalagi di televisi, kekerasan disampaikan tanpa penyaringan terlebih dahulu. Sering kali berita yang disampaikan itu vulgar. Itu yang kita lihat,” ujarnya.

Selain itu, ada faktor dari orang yang bersangkutan, yaitu toleransi terhadap stres yang rendah. Artinya, kurang bisa mengontrol emosinya. Biasanya orang tidak bisa atau kurang dapat mengontrol emosinya karena orang tersebut memang hidup dalam lingkungan yang tidak mengajarkan atau mendidik untuk dapat mengontrol emosi dengan baik.

Lingkungan keluarga juga mempunyai peranan dalam terciptanya KDRT. Alasannya, lingkungan keluarga sekarang cenderung bersifat nucleous family atau keluarga itu terpecah-pecah. Sebaliknya, lingkungan keluarga dahulu cenderung bersifat extended family atau keluarga besar sehingga bisa curhat (mengadu-red.) ke uwak, paman, bibi, atau anggota keluarga lainnya. ”Sekarang, keluarga seperti itu seolah-olah sudah tidak ada sehingga kita mau curhat ke siapa juga bingung,” jelas Syafari.

Begitu juga dengan faktor sosial yang mempunyai andil dalam kasus KDRT. Masalahnya saat ini tekanan kehidupan itu luar biasa berat. Dibandingkan dengan dahulu, sekarang ini tekanan- tekanan yang memicu orang berbuat kekerasan semakin kuat sebab dahulu belum banyak ”stimulus” yang membuat orang stres.

”Dahulu apa sih stimulus yang membuat orang stres? Berbeda dengan sekarang. Kita ke mal tidak punya uang, stres! Ke jalan stres. Bergaul dengan lingkungan, stres! Lihat televisi bisa stres! Jadi, segala macam itu bisa membuat kita stres! Makin ke sini tingkat stresnya makin tinggi. Selain itu, waktu untuk rileks juga kurang,” tuturnya.

Sementara itu, Drs. E. Kusnaeli, M.M.Pd., Kepala Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Jabar, mempunyai pandangan, KDRT terjadi akibat lemahnya fungsi keluarga sehingga rentan terjadi kekerasan. ”Ada delapan fungsi keluarga, yaitu fungsi agama, sosial budaya, kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi pendidikan, ekonomi, dan pelestarian lingkungan. Keluarga harus melaksanakan delapan fungsi tersebut. Bila delapan fungsi ini berjalan dengan baik, keluarga menjadi lingkungan yang paling aman, nyaman, dan kondusif,” katanya.

Di antara anggota keluarga tersebut, tambah dia, terjalin tindakan saling menyayangi, menghargai, dan lainnya akibatnya bila ada suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan di luar, bisa diselesaikan di rumah. Kedelapan fungsi keluarga tersebut saling berkaitan, tidak berdiri sendiri. ”Salah satu indikator agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya yang harus diperhatikan adalah jumlah keluarga harus terkendali,” ungkapnya.

**

Kusnaeli juga membenarkan kekerasan di dalam rumah tangga mungkin akibat mulai melunturnya nilai-nilai keluarga, tetapi yang harus dicari justru faktor penyebabnya, misalnya ekonomi sering dijadikan alasan terjadinya perselisihan. Bila agamanya kuat, meski ekonomi lemah, tetap saja bahagia. Jadi tidak bisa berdiri sendiri, tapi saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Pada bagian lain, saat ditanyakan kenapa keluarga sering dijadikan sasaran kekerasan dari anggota keluarga lainnya, Syafari menjawab karena keluarga merupakan orang yang paling dekat dan biasanya yang terpilih menjadi sasaran adalah orang yang cenderung tidak melawan, seperti anak kecil, orang yang cacat, penurut, atau orang-orang yang kemungkinan besar tidak akan melakukan perlawanan.

Untuk mengurangi kasus-kasus seperti di atas, Syafari menyarankan agar Pemda Jabar membuat rancangan peraturan daerah tentang kesehatan jiwa sehingga nantinya program preventif dan promotif akan dianggarkan, serta diutamakan. Diharapkan, peraturan daerah tersebut, setidaknya bisa dilihat potret kejiwaan di Jabar. Misalnya gangguan jiwa yang paling banyak di Jabar itu apa, faktor penyebabnya dan lainnya yang selanjutnya dicarikan solusinya.

”Selain itu, ada program pemerintahan secara keseluruhan tentang keluarga, seperti keluarga itu apa? Keluarga yang benar itu seperti apa? Karena belum tentu semua orang itu tahu seputar hal tersebut. Jadi, ada program mendasar tentang pendidikan keluarga. Perlu pula dikenalkan ke masyarakat deteksi dini gangguan kejiwaan itu seperti apa sehingga bila ada anggota keluarganya yang mengarah ke sana bisa segera ditangani, tanpa menimbulkan korban,” sarannya.

Menurut Kusnaeli, upaya yang diperlukan untuk menghadang semua itu adalah ketahanan keluarga, baik dari dalam maupun dari luar. Ketahanan keluarga adalah bagaimana kemampuan keluarga untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga. ”Di sini tercakup pengertian tujuan berkeluarga itu untuk apa, bagaimana memandang anak dan lainnya,” ujarnya. (Yeni Ratnadewi/”PR”)***

1 komentar:

  1. ok juga investigasinya...pake metode "grounded research" dong? wah blusukan ke kompleks psk, ya lumayan mumet tuh iman dan imin...

    BalasHapus